Suku Bangsa Dawan
UMA MANARAN
(RUMAH BERNAMA/RUMAH SUKU/RUMAH ADAT)
Dalam masyarakat Timor, rumah disebut UMA (Suku Bangsa Tetun), atau UME (Suku Bangsa Dawan). Rumah Adat atau Rumah Suku atau Rumah Bernama (Rumah Bernas, Berwibawa) disebut UMA MANARAN, Rumah yang mempunyai nama.
Gambar ini menunjukkan sebuah contoh Rumah Adat Suku Tetun, di Lahurus, Pusat Kerajaan Tetun Tasifeto, Belu, Pulau Timor.
Ketika sebuah Uma Manaran, memiliki LAKASORU (bagian pucuk atapnya dibalut dengan ijuk dan diberi tanda xxxx menandakan bahwa ini adalah UMA METAN, artinya UMA MANARAN KAU NAI (KAU MANEK) no KAU BETE (Rumah Adat Tuan Putera dan Tuan Puteri Raja).
Masyarakat Adat, Hak-Hak Dasar Serta Pengharapan
Istilah masyarakat adat tidaklah populer di Indonesia, orang lebih sering menyebut masyarakat adat sebagai masyarakat terasing, suku terpencil, masyarakat hukum adat, orang asli, peladang berpindah, peladang liar atau bahkan yang lebih ekstrem ialah sebagai penghambat pembangunan. Hal ini berbeda jika pada tingkat lokal mereka menyebut dirinya dan dikenal oleh masyarakat sekitarnya sesuai nama suku mereka masing-masing. Istilah ini populer sejak beberapa aktivis Ornop dan masyarakat melakukan sebuah pertemuan yang diorganisir oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) di Tanah Toraja pada tahun 1993. Pertemuan menyepakati sebutan masyarakat adat sebagai terjemahan dari indigenous peoples. Pertemuan ini menyebutkan masyarakat adat adalah : “kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur secara turun-temurun di wilayah geografis tertentu serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri”. Sejak itu, dalam perkembangannya, istilah ini menjadi sebutan baku di dalam percakapan Ornop Indonesia. Bahkan telah diterima luas oleh kelompok kelompok masyarakat yang diberi cap sebagai masyarakat adat sendiri.
Meskipun begitu, sebutan masyarakat adat masih harus dipahami dari dua segi. Pertama, sebutan ini merupakan suatu abstraksi yang bersifat umum. Karena, berbagai komunitas masyarakat adat sendiri tidak akrab dengan istilah,ini. Masyarakat adat Lindu di Sulawesi Tengah lebih akrab menyebutkan diri mereka dengan To Lindu (Orang Lindu), bukan masyarakat adat Lindu. Sebutan masyarakat adat lebih tepat digunakan dalam komunikasi yang lebih luas. Kedua, sebutan masyarakat adat digunakan sebagai kontra wacana terhadap berbagai sebutan yang penuh dengan prasangka, seperti “suku terasing” atau “masyarakat terasing”, masyarakat terkebelakang, masyarakat primitif, peladang berpindah dan sebagainya. Sebutan-sebutan yang mencerminkan penjajahan pengetahuan, budaya, dan kemudian penjajahan pembangunan .
Semenjak dahulu masyarakat adat tidak menjadi pemain inti dalam pola pembangunan nasional. Hak-hak mereka atas tanah, sumber daya alam, lingkungan hidup, serta hak-hak dasar lainnya terabaikan, bahkan tidak dihiraukan. Kemampuan dan terbatasnya akses untuk memperoleh hak tersebut berakibat konflik horisontal dan vertikal. Negara menganggap alam (ekosistem) hanyalah barang ekonomi yang dinilai dengan uang (valuasi). Bagi masyarakat adat, hal ini jauh berbeda karena tanah dan sumber daya alam lainnya bukan sekedar barang ekonomi, tetapi bersifat spiritual dan sakral . Di Kalimantan masyarakat Dayak memiliki keyakinan bahwa: “Tanah adalah Hidup dan Nafas Kami”, di Papua Barat hampir seluruh masyarakat adat meyakini bahwa”Tanah Kita, Hidup Kita” (Dr. Karel Phil Erari, 1999). Jelas di sini bahwa bagi mereka, tanah, lingkungan alam adalah sumber kehidupan dan sangat bermakna dalam segala aspek kehidupan. Sebagian dari mereka mengibaratkan bumi sebagai Ibu mereka. Merusak alam sama dengan menyakiti Ibu mereka. Demikian juga mengotori bumi .
Laju investasi yang terus ditingkatkan, modal yang harus semakin cepat diputar serta tingkat konsumsi yang digenjot naik. Negara yang secara jelas dan nyata memihak kaum pemodal telah menyebabkan kerusakan lingkungan alam dan ekologis yang luar biasa. Masyarakat adat menjadi korban pertama dan utama di sini. Jelas kita tidak akan merasakan kerusakan hutan, karena kita di kota. Tidak akan memakai masker akibat kebakaran hutan. Ataupun tidak akan mengalami banjir akibat penebangan liar kayu yang digunakan untuk furnitur yang kita pergunakan. Negara dengan kebijakannya tidak memberi kesempatan kepada masyarakat adat untuk mengelola sumberdaya alamnya dengan kearifan yang mereka miliki. Padahal secara jelas dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan keberadaan mereka diakui.
Kemudian masyarakat adat sebagai dituding sebagai perusak lingkungan karena perladangan dan pemanfaatan hasil hutan. Misalnya, tahun 1970-an, Orang Da’a dipindahkan ke Dataran Palolo yang berbatasan langsung dengan TNLL saat ini, juga dengan alasan dianggap merusak lahan. Padahal fakta membuktikan, masyarakat adat memiliki kemampuan selfmanagement dan self-regulation dalam pemanfaatan sumber daya alam (tanah dan hutan) tanpa merusak sama sekali. Sistem perladangan Orang Katu (Sangaji, 2000), sistem pemilikan dan penguasaan tanah Orang Toro (Silas, 2001) dan perladangan Orang Da’a (Saleh, 2001) merupakan beberapa contoh, betapa masyarakat adat adalah pengguna dan pelindung sumber daya alam yang efektif. Penghargaan semestinya diberikan kepada komunitas-komunitas ini, bukan sebaliknya .
Di balik cerita mengerikan tersebut, masih terdapat optimisme menuju Indonesia yang lebih baik lagi. Meskipun sistem adat ini berbeda-beda namun mempunyai kesamaan yang terlihat, seperti; 1) masih hidup selaras dengan mentaati mekanisme alam di mana manusia merupakan bagian dari alam itu sendiri yang harus dijaga keseimbangannya; 2) bahwa suatu kawasan hutan tertentu masih bersifat eksklusif sebagai hak penguasan dan/atau kepemilikan bersama komunitas (comunal property resources) yang dikenal sebagai wilayah adat sehingga mengikat semua warga untuk menjaga dan mengamankannya dari pihak luar; 3) sistem pengetahuan dan struktur pemerintahan adat memberikan kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi, termasuk berbagai jenis konflik, dalam pemanfaatan sumber daya hutan; 4) sistem alokasi dan penegakan hukum adat untuk untuk mengamankan sumber daya milik bersama dari penggunaan berlebihan, baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh orang luar komunitas; 5) mekanisme pemerataan distribusi hasil ”panen” sumber daya alam milik bersama yang bisa meredam kecemburuan sosial di tengah masyarakat .
Tidak berlebihan untuk menyatakan bahwa masa depan keberlanjutan kehidupan kita sebagai bengsa berada di tangan masyarakat adat yang berdaulat dan terbuktio mampu menyangga dan mengelola alam dengan keraifan yang dimilikinya. Seiring laju zaman, seiring pula cepatnya hilang hutan-hutan milik masyarakat adat. Teriring pula doa dan pengharapan yang dipanjatkan kaum marjinal ini akan hari esok yang lebih baik lagi. Tugas kita untuk saling membantu dan tetap menjaga agar mimpi itu tetap ada. Atau mewujudkannya. Semoga.
Dirangkum dari berbagai sumber
Anto Sangaji, Penghancuran Masyarakat Adat Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam di SULAWESI TENGAH, Kertas Posisi Yayasan Tanah Merdeka.
Abdon Nababan, Konflik Penguasaan dan Pengelolaan Sumber daya Alam : Implikasinya Terhadap Masyarakat Adat.
Sandra Moniaga, Hak-Hak Masyarakat Adat dan Masalah Serta Kelestarian Lingkungan Hidup di Indonesia
Abdon Nababan, Konflik Penguasaan dan Pengelolaan Sumber daya Alam : Implikasinya Terhadap Masyarakat Adat.
Sandra Moniaga, Hak-Hak Masyarakat Adat dan Masalah Serta Kelestarian Lingkungan Hidup di Indonesia
No comments:
Post a Comment